Belajar dari Sepakbola Jerman, Sepakbola Jerman telah berkembang dengan sangat pesat. Hal ini bisa kita lihat dari lolosnya dua wakil Jerman, Bayern Muenchen dan Borussia Dortmund ke final Liga Champions Eropa musim ini mungkin mengejutkan banyak pihak. Apalagi, di semifinal mereka berhasil menyingkirkan dua raksasa Spanyol, yaitu Barcelona dan Real Madrid, yang lebih diunggulkan. Muenchen dengan perkasa mengubur tiki-taka ala Barcelona dengan keunggulan agregat mutlak 7-0. Sementara itu, determinasi tinggi anak-anak muda Dortmund mampu menyingkirkan harapan El Real untuk meraih trofi Liga Champion ke-10 mereka.
Menjadi pertanyaan banyak pihak, apa rahasia sepakbola Jerman sehingga mampu berdiri di panggung tertinggi sepakbola Eropa tahun ini? Bagaimana sepakbola Jerman memenangi persaingan dengan klub-klub dari liga yang lebih elite dan mempunyai uang lebih banyak dari mereka? Menarik untuk kita cermati bersama apa yang terjadi pada sepakbola Jerman pada awal millenium yang lalu.
Pada Piala Dunia 1998 di Perancis, tim nasional Jerman datang dengan status sebagai jawara Eropa 1996. Saat itu, Jerman diperkuat banyak pemain legendaris mereka, seperti Lotthar Matthaeus, Juergen Klinsmann, Andreas Moeller, Oliver Bierhoff, Thomas Haessler, Mathias Sammer, hingga Juergen Kohler. Namun, apa yang terjadi? Barisan “pemain legendaris tapi uzur” Jerman ini dihancurkan 0-3 di perempat final oleh negara “bau kencur” Kroasia, yang bahkan baru merdeka tahun 1991!!!
Euro 2000 di Belanda-Belgia pun menyimpan mimpi buruk bagi sepakbola Jerman. Saat itu, tergabung di Grup A, Jerman malah menjadi juru kunci grup di bawah Portugal, Rumania, dan Inggris. Masa kelam ini masih ditambah dengan kekalahan memalukan dari musuh bebuyutan mereka, Inggris pada Kualifikasi Piala Dunia 2002. Saat itu, bermain di Olympia Stadion Berlin, Jerman dipermak 1-5 oleh Inggris!!! Bahkan Jerman pun harus susah payah untuk lolos ke putaran final Piala Dunia 2002 melalui babak play-off dengan menyingkirkan Ukraina.
Pasca rentetan kegagalan-kegagalan memalukan tersebut, asosiasi sepakbola Jerman (DFB) tersentak. Mereka sadar bahwa kesuksesan mereka di Piala Dunia 1990 dan Piala Eropa 1996 merupakan hasil dari hadirnya pemain-pemain warisan dari Jerman Barat dan Jerman Timur. Namun, pemain-pemain ini pun memiliki keterbatasan untuk terus mempertahankan performa khas “Der Panzer” mereka hingga usia senja. Untuk itulah, DFB menyadari perlunya melakukan perubahan pada sepakbola Jerman dengan menitikberatkan pada sistem pembinaan pemain-pemain asli Jerman.
Dengan kesadaran akan pentingnya sistem regenerasi pemain (sehingga kejayaan sepakbola Jerman pun akan mampu dipertahankan terus menerus), DFB pun melakukan berbagai pembenahan demi tercapainya cita-cita ini. DFB melaksanakan evaluasi menyeluruh terhadap kegagalan mereka. Untuk itu, maka kami hadirkan beberapa rahasia DFB dalam pengembangan sepakbola Jerman.
Peran Ilmu Pengetahuan dan Teknologi dalam Sepakbola Jerman
Jerman memang dikenal sebagai salah satu negara industri terbesar di dunia. Tidaklah mengherankan apabila Jerman menjadi negara dengan perekonomian terkuat di Eropa. Keunggulan bangsa Jerman dalam penguasaan ilmu pengetahuan dan teknologi ini pun akhirnya dimanfaatkan oleh DFB untuk membangun kembali sepakbola Jerman.
DFB melakukan kerjasama dengan universitas-universitas di Jerman untuk menerapkan berbagai disiplin imu ke dalam sepakbola. Bidang yg dimanfaatkan antara lain dalam bidang psikologi, ilmu olahraga, manajemen, ekonomi terapan, hingga gizi. Pemanfaatan ilmu pengetahuan dan teknologi berguna untuk melakukan analisis terhadap permasalahan yang dihadapi para pemain dan untuk mendapatkan solusi yang dibutuhkan secara ilmiah bagi kemajuan sepakbola Jerman.
Adanya Visi atau Tujuan yang Ingin diraih
Dari berbagai penelitian yang dilakukan sejak tahun 2000, DFB pun akhirnya berhasil menyusun sebuah blueprint mengenai sepakbola Jerman. Di dalam blueprint tersebut tercantum berbagai hal yang dilakukan untuk kemajuan sepakbola Jerman. Mulai dari aturan main di Bundesliga, pengelolaan klub, manajemen keuangan klub dan federasi, pembangunan akademi sepakbola di tiap klub hingga kurikulum mengenai sepakbola Jerman di berbagai tingkatan usia!!!
Tidaklah mengherankan apabila saat ini klub-klub Jerman dan tim nasionalnya sendiri begitu digdaya di Eropa dan dunia. Karena memang tujuan DFB adalah agar Jerman tidak mengalami kehabisan stok pemain atau macetnya regenerasi, seperti yang mereka alami pada akhir 90an dan awal 2000an. Wajar apabila belum habis era pemain seperti Oezil (24 tahun), Khedira (24), Reus (24), Gomez (28), Schurrle (25), Podolski (28), Kroos (23), sudah bermunculan pemain-pemain muda yang “antri” macam Mario Goetze (20), Marko Marin (22), Lewis Holtby (20), Julian Draxler (19), Ilkay Gundogan (21), Sven dan Lars Bender (22), dan lainnya.
Pembangunan Akademi
Regulasi liga mensyaratkan seluruh klub yang ada di divisi Bundesliga dan Bundesliga 2 (dua divisi teratas) untuk memiliki akademi klubnya masing-masing. Ini merupakan syarat mutlak yang harus dipenuhi oleh klub apabila ingin berkompetisi di divisi teratas Liga Jerman. Dengan adanya aturan ini, klub-klub Jerman wajib untuk menyisihkan sebagian pendapatan mereka untuk membiayai dan mengembangkan akademi mereka sendiri. Harap dicatat, ini adalah aturan mutlak yang harus dipenuhi. Apabila klub tidak memiliki akademi, maka klub tersebut tidak akan dapat memiliki lisensi untuk bermain di Bundesliga.
Dalam sistem baru ini, setiap akademi harus memiliki setidaknya 12 pemain di setiap kelompok umur atau jenjang yang memenuhi syarat (eligible) membela seluruh tingkatan timnas Jerman. Ke-36 klub itu menghabiskan dana total 100 juta dolar untuk akademinya. Sistem ini seakan menyempurnakan kebijakan 6+5 milik FIFA.
Di luar klub, DFB mendirikan 121 pusat sepakbola nasional di seantero Jerman yang khusus mendidik pemain berusia 10-17 tahun. Akademi ini fokus mendidik skil individu dengan arahan pelatih yang dikontrak per lima tahun dengan total biaya 15,6 juta dolar per akademi. Setiap akademi nasional ini akan ditangani dua pelatih kepala berstatus terbaik.
Peran Pemerintah
Pemerintah pun memberikan perhatiannya terhadap kemajuan sepakbola Jerman. Salah satu peran pentingnya adalah mengesahkan Undang-undang Imigrasi yang diajukan oleh DFB. Tujuan dari UU ini adalah kemudahan bagi para imigran dan anak keturunan mereka untuk memperoleh paspor Jerman.
Dengan adanya kemudahan bagi para imigran untuk mendapatkan paspor Jerman, maka penyerapan talenta-talenta sepakbola Jerman dapat dilakukan secara optimal, tidak terbatas pada orang asli Jerman saja. Sebelumnya, Jerman dikenal sebagai bangsa yang sangat bangga akan keturunannya dan sangat ketat dalam pengaturan kewarganegaraan bagi para imigran.
Beberapa pemain andalan tim nasional Jerman yang mendapat efek dari kebijakan ini antara lain Mesut Oezil dan Ilkay Gundogan (keturunan Turki), Sami Khedira (Tunisia), Lukas Podolski (Polandia), Cacau (Brazil), Mario Gomez (Brazil-Spanyol), dan Jerome Boateng (Ghana).
Pembangunan Infrastruktrur
Infrastuktur menjadi salah satu penunjang utama dalam sepakbola, khususnya bagi pengembangan pemain muda dan dari sisi komersial. Dengan adanya fasilitas lapangan berlatih yang berkualitas dapat membantu para anak-anak muda yang tergabung dalam akademi untuk mengembangkan karir dan permainan sepakbola mereka menjadi lebih berkualitas.
Salah satu indikatornya saat ini adalah standar stadion di Jerman yang luar biasa. Seluruh peserta Bundesliga diwajibkan untuk memiliki stadion dan lapangan berlatih yang disesuaikan dengan standar UEFA. Ditambah lagi dengan animo tinggi masyarakat Jerman pada sepakbola, dimana musim lalu lalu rata-rata jumlah penonton yang menyaksikan pertandingan di tiap stadion adalah 42.465 orang. Angka ini merupakan angka jumlah rata-rata penonton sepakbola tertinggi di dunia. Kemudian persentase tingkat keterisian stadion di tiap pertandingan adalah 91,2 % menjadikan Bundesliga sebagai liga sepakbola dengan tingkat persentase keterisian stadion terbesar di dunia, setelah Liga Inggris.
Dengan memiliki stadion yang modern dan aman, suporter klub-klub Jerman pun tidak ragu untuk datang secara langsung ke stadion untuk mendukung tim kesayangannya bermain. Tidak bisa dipungkiri, bahwa salah satu pemasukan terbesar klub sepakbola saat ini adalah dari pemasukan tiket pertandingan. Sehingga dengan kepemilikan stadion secara langsung dapat meningkatkan pendapatan klub, sehingga klub-klub Jerman dapat bersaing dengan klub dari liga lainnya di Eropa.
Regulasi Liga
Sebuah kompetisi pada hakikatnya adalah sebuah persaingan. Namun, bagaimana mengelola kompetisi tersebut agar menarik untuk ditonton? Bundesliga punya caranya tersendiri. Selain mewajibkan tiap klub agar memiliki akademi sendiri (sehingga praktis ada alokasi dana khusus untuk akademi) Bundesliga pun mengatur agar jatah hak siar televisi tidak berat sebelah. Seperti kita ketahui, di Spanyol 55 % jatah hak siar pertandingan televisi merupakan jatah “khusus” untuk Barcelona dan Real Madrid, sementara 45 % sisanya dibagikan kepada 38 klub divisi utama dan divisi 1!!!
Di Jerman, itu tidak akan terjadi, karena Bundesliga menerapkan jatah pembagian hak siar secara kolektif. Artinya, tim juara musim lalu maupun tim-tim promosi mendapat jatah yang sama di awal musim. Kemudian, di akhir musim nanti tiap klub akan kebagian jatah hak siar lagi, sesuai posisi klub-klub masing-masing di klasemen akhir.
Selain itu, kondisi keuangan klub-klub Jerman dikontrol sangat ketat oleh operator Bundesliga. Hal ini dilakukan agar keuangan klub selalu sehat dan tidak bangkrut, seperti yang pernah terjadi pada Borussia Dortmund di awal millennium. Apabila utang klub Jerman melebihi daya bayarnya, maka operator Liga akan melarang klub tersebut untuk berkompetisi di Bundesliga. Aturan yang sama diadopsi oleh UEFA bagi klub-klub Eropa yang akan berkompetisi di Liga Champion maupun Europa League mulai musim depan. Maka, ketika klub-klub Italia, Inggris dan Spanyol mengalami krisis keuangan, klub Jerman tetap bisa bersantai karena mereka memiliki keuangan yang lebih sehat.
Dengan kontrol ketat ini, klub-klub Jerman tidak berani untuk sembarangan membeli pemain. Mereka lebih suka menggunakan pemain binaan akademi sendiri, karena hemat anggaran. Hal ini menyebabkan rata-rata usia pemain di klub Bundesliga adalah 23 tahun. Lebih lanjut, setiap klub Bundesliga harus punya 12 pemain asli Jerman di daftar skuad per pertandingan (dari 18 pemain yang meliputi 11 inti, 7 cadangan).
Kurikulum Sepakbola Jerman
Yang terakhir, DFB mengubah kurikulum pembinaan sepakbola Jerman usia 9-13 tahun. Kurikulum disusun berdasarkan penelitian mahasiswa Universitan Koeln yang tidak merekomendasi pelatihan 11 vs 11 bagi anak-anak di bawah 14 tahun. Anak usia 9 tahun dilatih 4 vs 4 dalam lapangan kecil. Ini berguna untuk memancing skil dan teknik individu. Mereka tidak dikenalkan strategi dan tidak digembleng secara fisik. Bermain dengan 11 pemain baru dikenalkan pada usia 13 tahun.
Kurikulum sepakbola Jerman ini juga diterapkan di 29 sekolah khusus, Elite Football Schools. Akademi ini hanya menerima anak usia 11-14 tahun dan mengajarkan seluruh pelajaran umum. Namun kurikulum sepakbola adalah materi utama.
Dengan berbagai cara seperti yang telah dijelaskan di atas, maka tidaklah mengherankan apabila sepakbola Jerman mengalami kemajuan sangat pesat belakangan ini. Bisa dilihat dari prestasi klub-klub Jerman di kompetisi Eropa maupun kiprah tim nasional Jerman sendiri. Sepakbola Jerman bisa maju dengan komitmen luar biasa para pelakunya. Lalu bagaimana dengan kemajuan sepakbola Indonesia? Seharusnya pengurus PSSI bisa belajar dari kemajuan sepakbola Jerman yang luar biasa ini.
Sumber Gambar : Google Images
Comments
Post a Comment